Sabtu, 09 Juni 2012

Sarinah Dalam Kabut Kapitalisme


"Karno, yang terutama engkau harus mencintai ibumu. Akan tetapi kemudian engkau harus mencintai pula rakyat jelata. Engkau harus mencintai manusia umumnya," kata mbok sarinah kepada Sukarno kecil. Ungkapan perempuan yang diakui telah mendidiknya itu melahirkan harapan besarnya dari pemikiran besar Gandhi "My nationalism is humanity". Atas nama rakyat jelata pula ia membangun pusat perbelanjaan moderen terbesar pertama di Indonesia dan dinamai "Sarinah", agar rakyat mendapatkan barang-barang murah dengan mutu bagus.
Tapi realita dalam perkembangannya bangunan dengan nama kelas pembantu itu bukan untuk rakyat jelata. Barang-barang mewah, McDonald, Hoka hoka bento, Starbucks Coffee. Roda-roda kapitalisme itu kini berkuasa walau dulu pernah dilawan Sukarno.

Nama bukan jaminan keberpihakkan, apa lagi tujuan. Nama hanyalah simbolisme seakan-akan demikian adanya. Nama hanyalah sebuah mimpi untuk masa depan, sebagaimana mimpi Sukarno agar rakyat jelata mendapat penghidupan yang layak dengan pendirian Sarinah.  “Kalau kita bisa menjual satu bahan kebaya di department store dengan harga sepuluh rupiah, di luar orang tidak berani menjual bahan kebaya dengan dua puluh rupiah,…” kata Sukarno pada pindatonya. Mimpi Sukarno itu tak pernah terwujud di tengah hiruk pikuk merek impor dan lokal yang melangit.

Dari kursi hitam sisi luar Starbucks Coffee di tengah nyamuk-nyamuk dan kebisingan kendaraan Jalan Thamrin sore itu, kunikmati saja riak kapitalisme yang menghanyutkan. Di sampingku kelompok anak muda sedang mempresentasikan bangunan minimalis dua lantai. Perempuan-perempuan setengah baya dan lelaki setengah buaya dengan asap rokok dan kopi hitam bercanda habiskan hari. Entrepreneur muda dalam gelak tawa mereka, ku mipikan harapan Sukarno untuk rakyat jelata. Harapan yang selalu dimainkan seperti orkes dalam setiap ruang diskusi, merdu terdengar namun hanya berhenti di telinga. Kata orang Manado, "sorga talinga", hanya indah didengar namun tak mewujud.
My nationalism is humanity... atas nama kemanusiaan, yang punya kuasa selalu bicara, namun kemanusiaan selalu dipertaruhkan hanya untuk kuasa.

Dari balik kabut kapitalisme di pelataran Sarinah Plaza aku sependapat dengan Jesse, “I love my country, not my government.”

Kamis, 27 Agustus 2009

Bukan Saatnya Berpantun

Adalah sangat bodoh dan amat amatir bahwa Discovery Channel (salah satu TV documenter terbesar dunia) melakukan pembuatan iklan dengan mencomot begitu saja tanpa permisi budaya orang dari VCD local Bali tentang belajar tari Pendet. Alangkah naifnya jika Malaisia (pemerintah ataupun swasta) sebagai pemesan tidak tau atau merekomendasikan hal ini Barangkali ini kekeliruan, tapi ini kekeliruan yang disengaja. Hal yang di sengaja sudah berulang-ulang dilakuakan oleh NKB (Negara Kaya Baru) ini pada Indonesia. Dua pulau yang seharusnya menjadi milik kita diambil dan sekaligus menggeser batas wilayah Negara. Reog Ponorogo, angklung, wayang, batik, lagu rasa sayang, dan entah apa lagi kemudian dengan cara main-main seperti ini.

Media di Malaisia sepi sementara di Indonesia gempar. Mulai dari masyarakat biasa, mahasiswa, pakar, pun angkat bicara. Mulai dari wawancara gaya jalanan sampai di ruang studio ber ac juga dilakukan. Bahkan sebagai Negara yang berbudaya, pemerintah pun berdiplomasi dengan mengutus utusan khusus untuk menyampaikan Surat Klarifikasi tentang pencaplokan budaya tersebut. Artinya kita yang dirugikan dengan inisiatif sendiri pergi menemui yang merugikan kita untuk meminta klarifikasi. Entah apa jawaban mereka, yang pasti mereka akan berpantun lagi. Maka terjadilah berbalas pantun dengan menggantung begitu saja harga diri bangsa.

Bereaksi seperti itu belumlah cukup. Apalagi dengan jawaban acuh tak acuh dari pihak Malaisia dengan mengatakan ini sejarah budaya mereka, tapi sangat disayangkan tidak mencantumkan nama Indonesia sebagai asal budaya tersebut. Ini bukan kerja sama tapi klaim. Kita selalu berada di posisi tawar dan tidak berani menetapkan harga. Harga diri kita sebagai bangsa besar. Bangsa yang mendapatkan kemerdekaan karena perjuangan bukan karena pemberian.

Indonesia harus menggugat hal ini. Bukan hanya klarifikasi, tapi permintaan di tariknya iklan tersebut sekaligus pengakuan Malaisia akan budaya (karya seni) Indonesia itu serta kesalahan telah menggunakannya tanpa izin dan permintaan maaf dari pihak Malasia yang langsung disampaikan oleh Perdana Mentrinya. Disampaikan secara resmi dan diumumkan di seluruh media di Indonesia dan di luar negeri khususnya Discovery Channel. Dengan demikian harga diri bangsa ini mempunyai nilai.

Klarifikasi hanya untuk isu dan ini bukan isu tapi fakta. Fakta pelanggaran kekayaan intekektual negeri ini telah terjadi, maka kita harus menggugat! Bukan saatnya untuk berpantun ria.

Senin, 24 Agustus 2009

Anak Yang Merdeka

Dengan jemari pada keyboard dan mata menatap screen monitor yang dipenuhi angka, rasa kantuk menyerang kesadaranku pagi itu. Tiba-tiba anak-anak di PosPAUD (Pos Pelayanan Anak Usia Dini) garasi mobil samping ruang kerjaku (maksudku milik bosku) menyanyikan lagu “Aku Anak Indonesia”.

Aku anak Indonesia

Anak yag merdeka

Satu nusaku

Satu bangsaku

Satu bahasaku

Indonesia

Aku bangga

Menjadi, anak Indonesia


Dengan bangga dan merdeka mereka nyanyikan lagu itu dari garasi mobil. Ceria tanpa beban anak-anak itu bertepuk tangan, menetapkan kesungguhan mereka untuk Indonesia. Apa yang membuat mereka merasa merdeka? Apa yang membuat mereka merasa bangga? Adakah semangat ini bisa bertahan setelah mereka menjadi pribadi dewasa? Rasa ngantukku pun hilang.


Bagaimana mereka bisa merdeka dengan belajar di garasi sempit seperti itu? Apa yang mereka banggakan dengan pelayanan dan fasilitas pendidikan paspasan seperti itu?

Mengapa anak-anak itu tidak berunjuk rasa memprotes keberadaan mereka yang hanya mampu meminjam sebuah garasi dengan para relawan?. Mengapa mereka harus lahir dari orang tua yang paspasan karena upah yang rendah sementera harga kebutuhan hidup naik berlipat-lipat?. Mengapa mereka hanya di sini dengan alat bermain seadanya sementara teman mereka di tempat lain merdeka penuh dengan fasilitas bermain yang lengkap?. Aku pun merenung.


Dari kepolosan dan kejujuran anak-anak itu, “mengapa” tidaklah begitu penting tapi “tekad”. Bertanya tidak terlalu penting tapi tindakan. Bertanya akan membuat masalah menjadi kusut dan tak terurai, tapi tekad yang baik akan melapangkan jalan menuju tujuan. Merdeka dan bangga menjadi anak Indonesia bagi mereka bukanlah pilihan tapi tekad.


Walau semalaman berjaga menatap monitor yang penuh angka, semangat tetap di dada. Anak-anak itu mengajarkan tekad, pribadi yang berketetapan dan komitmen bukan pengecut. Berdirilah dan nyatakan tekadmu. Aku memang anak yang merdeka, aku bangga menjadi anak Indonesia. Mari kita berjuang!